Cerita Pak Rahman dan Pak Abdul, Anggota Kopsyah BMI Yang Konsisten Lestarikan Peci Bambu Tangerang  

BMI Corner

Nasehat Dhuha Jumat, 21 Oktober 2022 | 25 Rabiul Awal 1444 H | Togar Harahap

Tangerang, klikbmi.com – Di tengah gempuran produksi barang berbahan baku plastik, rupanya masih banyak tangan terampil memproduksi kerajinan bambu. Salah satunya Rahman (58 tahun). Pria asal Desa Ancol Pasir, Kecamatan Jambe, Tangerang ini masih eksis memproduksi anyaman bambu untuk dijadikan peci,  lainnya. Itu karena selain menghasilkan, juga ingin menjaga tradisi menganyam yang menjadi potensi di desanya, tidak punah.

Selasa (18/10/2022), cuaca cukup cerah dengan angin bertiup sepoi-sepoi. Tak heran, banyak yang betah beraktifitas di luar rumah. Tidak terkecuali Rahman. Pria berusia 58 tahun ini tampak asyik beraktivitas merangkai anyaman bambu.

Saat ditemui Manajer Cabang Jambe Sri Utami, Rahman sibuk mengirat bambu yang baru dijemur. Kemudian dia pilah. Setelah itu, dia duduk dan menganyamnya. Tangannya yang terampil tampak cekatan. Apalagi ketika menarik helai demi helai bambu tersebut, seperti sudah hafal jalurnya. Hari itu ia mengantarkan beberapa lembar anyaman bambu untuk dijadikan peci bambu ke rumah Abdul, perajin peci di Desa Daru, Jambe.

Aktivitas ini hampir setiap hari dilakukan Rahman. Meski dikerjakan di waktu luangnya, dia dapat menyelesaikan dua kodi besek dalam seminggu. Rahman merupakan generasi ketiga dari keluarganya yang memang perajin bambu.

Sembari menyelesaikan pekerjaannya, Rahman yang ditemui Klikbmi ini mengaku tertarik menggeluti kerajinan  ini sejak duduk di bangku sekolah dasar (SD). ”Sudah dari kakek saya. Sudah turun temurun,” jelas Rahman yang juga Anggota Koperasi Syariah Benteng Cabang Jambe itu.

Rahman, perajin anyaman peci bambu asal Jambe Tangerang.

 Saat itu, dia penasaran dengan cara pembuatan anyaman bambu karena hampir orang tua di desanya menekuni kerajinan itu. Masyarakat Kecamatan Jambe dan Tangerang bagian selatan selain berkebun juga menekuni kerajinan ini sejak zaman kolonial Belanda. Para perajin mulai merasakan berkahnya setelah topi pramuka harus berbahan bambu di era Presiden Soeharto.

”Saat itu, saya bisa memproduksi 8.000 topi pramuka dalam seminggu. Saya enggak sendiri membuatnya, ada sekitar 50 perajin saya ajak bersama,” kata Rahman mengenang kejayaannya 20 tahun silam itu.

Namun setelah keluar kebijakan Kwarnas (SK Kwarnas No. 174 Tahun 2012) tidak pakai lagi topi bambu pramuka, pesanan mulai sepi. Para perajin bambu mulai berfikir untuk membuat kreasi yang lebih menarik. Hingga muncul ide membuat kerajinan peci bambu. Topi bambu menjadi salah satu simbol dalam logo Kabupaten Tangerang. Peci bambu pun menjadi setelan resmi para pejabat di lingkup Pemkab Tangerang, termasuk di Koperasi BMI. Tidak hanya di agenda resmi, namun juga di setiap kegiatannya.

”Pesanan paling banyak dari Kopsyah BMI, hampir tiap bulan. Kalau ada Rapat Anggota Tahunan, minimal kita dapat 30-40 kodi peci bambu untuk BMI. Alhamdulillah, Koperasi BMI yang lahirnya di Tangerang masih menjaga budaya dan kearifan lokal Tangerang,” jelas Rahman.

Di Tangerang ini, sambung Rahman, untuk memproduksi topi bambu, ia menggunakan bambu tali yang ada di masyarakat. Memang banyak manfaatnya, tapi kalau tidak bisa membuat teknik anyaman tradisi turun-temurun ini akan punah begitu saja. Selain itu, peci atau topi bambu khas Tangerang memiliki pola yang khas. Polanya terlihat di ujung anyaman. Berbentuk seperti kelopak bunga yang bulat. Pola awalan anyaman ini bernama Mimiti.

”Mimiti kalau dalam Bahasa Sunda artinya awalan. Titik permulaan menganyam bambu sehingga membentuk lembaran anyaman. Bentuk yang di Tangerang, semuanya seperti lingkaran. Makanya, topi pramuka putri semua di ujung atasnya berbentuk bulat dan melingkar,” jelas Rahman.

Dari prosesnya, kata Rahman yang paling banyak membutuhkan tenaga yakni saat mengirat bambu. Dia harus konsentrasi saat mengiratnya. Karena jika tidak hati-hati, tangan bisa teriris, atau tergores bilah bambu yang tipis. Membayangkan saja sudah ngilu. “Kalau dulu sulit. Tapi karena sudah terbiasa, sekarang ya mudah. Tipisnya juga sesuai keinginan dan lebarnya pun jangan sampai lebih 1 senti,” katanya.

Abdul dengan kreasi peci dan topi fedora dari bambu.

Setiap Minggu dia menyetor anyaman ke Abdul, perajin peci bambu, tak lain tetangganya sendiri. “Saya lebih ke perajin saja. Untuk pemasarannya langsung biar diurus Pak Abdul,” tegasnya.

Bagi Rahman, menjaga kelestarian kerajinan bambu bukan sekedar menjaga periuk semata. Lebih dari itu semua. Ini soal identitas dan kebanggan sebagai warga Tangerang. Para perajin bambu di Tangerang termasuk dirinya, memiliki tanggung jawab untuk menjaga kelestarian agar tak lekang dikikis zaman. ”Topi bambu adalah kebanggaan Tangerang. Identitas ini yang akan kita jaga. Saat ini yang meneruskan kerajinan anak bungsu saya masih duduk di Kelas 2 SMK, mudah-mudahan generasi ke depan punya banyak inovasi agar kerajinan bambu Tangerang bisa kembali ke masa kejayaanya lagi,” jelas Rahman.

Sementara itu, Abdul saat ditemui membenarkan jika produksi peci bambu ikut dia pasarkan. Dia mengatakan, kerajinan peci kini sangat eksis. Tidak hanya dibuat menjadi peci, Abdul juga membuat kerajinan seperti topi fedora dan goodie bag. ”Tentu saat ini problemnya ada di pemasaran, dan Alhamdulillah pesanan dari BMI mampu menghidupkan lagi geliat kami para perajin bambu bisa terus berproduksi,” tandasnya.

(Togar Harahap/Klikbmi)

Share on:

1 thought on “Cerita Pak Rahman dan Pak Abdul, Anggota Kopsyah BMI Yang Konsisten Lestarikan Peci Bambu Tangerang  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *