Ingat-Ingat ! Wakaf Tidak Boleh Dijual, Diwariskan Dan Dihibahkan

Edu Syariah

Nasehat Dhuha Senin, 7 November 2022 | 12 Rabiul Akhir 1444 H | Oleh : Ustadz Sarwo Edy, ME

Kisah Nyata Orang Yang Menjual Harta Wakaf

Klikbmi, Tangerang – Jika merujuk pada data Sistem Informasi Wakaf (SIWAK) yang diakses pada tanggal 6 November 2022, bisa kita temukan bahwa jumlah wakaf tanah di Indonesia mencapai 440.512 lokasi dengan total luas 57.263,69 ha. Dari jumlah tersebut tanah yang sudah bersertifikat wakaf sebanyak 252.937 lokasi (21.197,09 ha), dan sisanya sebanyak 187.575 lokasi (36.066,60 ha) belum bersertifikat (http://siwak.kemenag.go.id/).

Jika aset wakaf di Indonesia, khususnya wakaf tanah, dikelola secara optimal dan diproduktifkan dengan baik maka diyakini akan mampu meningkatkan kesejahteraan umat dan mengurangi angka kemiskinan serta dapat menopang perkembangan ekonomi syari’ah yang sedang digalakkan akhir-akhir ini.

Akan tetapi hingga sekarang harapan-harapan itu belum bisa terwujud secara optimal. Hal itu diakibatkan oleh beberapa hal mendasar antara lain rendahnya literasi wakaf, sosialisasi regulasi wakaf yang kurang merata, data wakaf yang parsial, kapasitas nazhir yang rendah, sertifikasi wakaf yang masih rendah dan belum maksimalnya pemanfaatan teknologi informasi wakaf.

Untuk meningkatkan kompetensi nazhir, BWI telah membentuk Lemdiklat dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), dan sudah mendapatkan izin dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) sejak Oktober 2021. Kegiatan ini bertujuan agar nazhir memiliki kemampuan yang standart dalam mengelola wakaf dan bisa mengembangkan wakaf lebih produktif.

Khususnya wakaf tanah, salah satu yang menjadi isu besar yang dibahas di berbagai kesempatan sertifikasi nazhir adalah Risiko Hukum yang dialami oleh Nazhir ataupun BWI. Risiko dimana seorang nazhir atau lembaga nazhir kalah banding dari pihak keluarga yang mengakui hak tanah/ harta benda wakaf lainnya di pengadilan.

Hal yang menjadi penyebab utama kalah banding hingga akhirnya tanah yang sudah diwakafkan diambil alih lagi oleh keluarga pewakif adalah karena ketidaklengkapan berkas harta objek wakaf. Setidaknya tidak adanya Akta Ikrar Wakaf (AIW) dan Sertifikat Wakaf.

Maka poin utama yang diharapkan setelah pelatihan sertifikasi nazhir ini adalah kemampuan nazhir dalam menjalankan tugas-tugas sebagai nazhir, baik di level penghimpunan, pengelolaan hingga penyaluran. Salah satunya adalah melengkapi berkas-berkas agar harta benda wakaf tidak bisa diambil alih lagi oleh pihak keluarga di kemudian hari.

Selain harus adanya profesionalisme dari pihak nazhir, perlu juga adanya literasi pewakif atau pihak keluarga pewakif agar hal itu tidak sampai terjadi. Salah satu hal yang perlu diketahui adalah bahwa harta wakaf tidak boleh dijual, diwariskan dan dihibahkan.

Dari Ibnu Umar RA, Ia berkata: “Bahwa sahabat Umar RA, memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar RA, menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk,

Umar  berkata: “Wahai Rasulullah SAW, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?”

Rasulullah SAW bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan.

Ada kisah menarik yang penulis temukan dan diharapkan bisa jadi literasi bagi pewakif dan pihak keluarga pewakif. Kisah ini didapatkan dari cerita salah satu warga Cikupa, Tangerang. Warga itu bernama Irawati atau sering dipanggil Bu Ira.

“Dulu di dekat rumah saya ada musholla kecil yang sudah diwakafkan beserta tanahnya oleh “Si Fulan”. Tapi pada tahun 2021 kemaren mushollanya sudah dirobohkan dan tanahnya sudah dijual oleh istrinya.” ujar Bu Ira mengawali obrolan.

Ia pun menceritakan, pada saat ingin dirobohkan, warga sekitar sudah mengingatkan kepada istrinya bahwa musholla beserta tanahnya itu sudah diwakafkan oleh suaminya yang sudah meninggal pada tahun 2011 itu. Akan tetapi oleh karena tidak ada bukti otentik berupa Akta Ikrar Wakaf (AIW) beserta Sertifikat Wakaf warga sekitar tidak bisa berbuat banyak.

“Sebenarnya warga sudah melarangnya untuk merobohkan mushollanya (karena sudah diwakafkan). Tapi karena tidak ada bukti sertifikat wakaf, kami pun hanya sekedar mengingatkan saja. Dan akhirnya musholla itu tetap dirobohkan” lanjutnya

Istrinya pun tidak mengindahkan himbauan warga dan tetap ingin menjual tanah itu. Hal itu lantaran ia juga ada kepentingan mendesak yang harus ia penuhi dari uang hasil menjual tanah itu.“Karena ia ada keperluan mendesak juga, ia tidak mengindahkan himbauan warga dan tetap merobohkan musholla serta menjual tanah itu.” terangnya melanjutkan kisahnya.

Bu Ira menyebutkan, ada beberapa peristiwa yang terjadi setelah istrinya pewakif menjual tanah itu.”Anehnya ada peristiwa-peristiwa yang terjadi di kehidupan istrinya setelah ia menjual tanah itu. Dari segi ekonomi, uang hasil jual tanahnya seakan habis tak tersisa. Usahanya sekarang semakin sepi. Keluarganya pun banyak hutang di mana-mana.” ujarnya menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi setelah tanah itu dijual.

“Dari segi keluarga, setelah lima bulan dijual tanah itu, anaknya tiba-tiba mengalami kecelakaan. Berobat kemana-mana pun tidak menemukan obatnya hingga akhirnya tidak tertolong. Keluarganya pun tidak harmonis. Anak-anaknya juga tidak mau tinggal di rumahnya. Ia pun saat ini sering sakit-sakitan” lanjutnya.

“Saya tidak tahu apakah peristiwa-peristiwa itu ada kaitannya dengan akibat menjual tanah wakaf dan merobohkan musholla wakaf. Tapi sebagian besar warga sekitar menganggapnya itu adalah teguran dari Allah karena ia menjual tanah wakaf.” terangnya

Selain Bu Ira menceritakan kehidupan pihak keluarga yang menjual tanah wakafnya itu, ia juga menceritakan pihak keluarga pewakif musholla lain di sekitarnya yang mengalami nasib yang berbeda. 

“Sebenarnya di situ ada tiga musholla yang sudah diwakafkan. dua yang lainnya dirawat oleh ahli warisnya. Ibaratnya itu (wakaf) punya orang tua, sebagai amal orang tuanya. Makanya sebagai anak mereka ingin ada amal tambahan untuk orang tuanya.” lanjutnya menceritakan kisah.

“Dan Alhamdulillah, dikarenakan mereka ikut merawat wakaf orang tuanya, kehidupannya dan rezekinya bagus, Anak cucunya punya pekerjaan masing-masing, ada yang usaha tenda, dan ada juga yang usaha penggilingan padi.” pungkasnya

Banyak hikmah yang bisa kita ambil dari kisah di atas. Salah satunya adalah harta wakaf tidak boleh dijual, diwariskan dan dihibahkan. Karena sejatinya harta benda yang sudah diwakafkan adalah sudah milik Allah SWT.

Maka jika ada seseorang yang mengambil lagi harta yang sudah diwakafkan, sejatinya ia telah mengambilnya dari Allah SWT. Dan pastinya ada konskuensi yang akan diambil dari tindakan tersebut.

Jika dalam perjalanannya pewakif menemukan nazhir tidak bisa mengelola harta wakaf yang sudah diserahkannya dengan baik, maka langkahnya adalah bukan dengan cara diambil alih, melainkan dengan menyerahkan pergantian nazhir kepada BWI (Sesuai peraturan BWI No.1 Tahun 2020).

Koperasi Syariah Benteng Mikro Indonesia  (Kopsyah BMI) adalah lembaga resmi yang sudah terdaftar sebagai nazhir dan sudah tersertifikasi oleh LSP BWI. Maka Kopsyah BMI bisa menghimpun dan mengelola harta benda wakaf serta menyalurkan hasil dari pengelolaannya. Mari berwakaf di Kopsyah BMI.

Wallahu a’lam bish-showaab  

Mari terus ber-ZISWAF (Zakat, Infak, Sedekah dan Wakaf) melalui rekening ZISWAF Kopsyah BMI 7 2003 2017 1 (BSI eks BNI Syariah) a/n Benteng Mikro Indonesia atau menggunakan Simpanan Sukarela: 000020112016 atau bisa juga melalui DO IT BMI: 0000000888. (Sularto/KLIKBMI)

Share on:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *