يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (Q.S Al-Baqarah: 153).
TANGERANG – Mungkin bagi sebagian orang berdagang gorengan apalagi di pinggir jalan bukanlah hal yang bergengsi dan menyenangkan. Tapi persepsi itu bisa berubah saat mengetahui omset berdagang gorengan di pinggir jalan dalam sehari bisa mencapai Rp 1,5 juta. Atau dalam sebulan minimal Rp 45 juta.
Ini bukan khayalan. Inilah kesaksian Dedeh Tiah Rodiah (43) salah satu anggota Kopsyah BMI yang juga pemilik usaha gorengan dan warung nasi di Komplek Pasar Sepatan, Kabupaten Tangerang. Yang ia jual hanya gorengan biasa. Mulai dari bakwan, tahu, tempe dan lontong. Di warung tersebut, Dedeh tidak sendiri, urusan masak memasak dibantu sang suami Anang Sunarya.
Setiap pagi para pelanggan yang juga sesama pedagang pasar menjejali warungnya yang berukuran 4 x 10 meter itu usai salat subuh. Dalam sehari, omset aneka gorengan yang mereka jajakan bisa mencapai Rp1,5 juta untuk satu warung.
Saat ini, Dedeh mengelola dua warung. Hingga mampu membangun rumah dan bengkel untuk anak sulungnya. Ini berawal dari pembiayaan Kopsyah BMI –sebesar Rp 400 ribu untuk modalnya berjualan gorengan, 17 tahun silam.
”Alhamdulillah, sekarang saya bisa menyewa warung sendiri pak sampai bangun rumah. Ya, ini karena BMI. Walaupun dulu saya cuma jualan di warung bilik bambu, BMI sudah membantu modal kami berjualan, mungkin kalau di tempat lain saya pasti dimintai jaminan, di BMI nggak seperti itu dan itu sudah dari dulu,” paparnya.
Pasangan suami istri ini sebenarnya bukan asli orang Sepatan. Baik Dedeh dan Anang berasal dari desa yang sama, Desa Legok, Kecamatan Paseh, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Kondisi ekonomi yang minim, membuat pasutri ini harus merantau ke Sepatan, Maret 2004.
Para saudaranya yang sudah menetap lebih dahulu memberi tahu ada warung di tengah Pasar Sepatan. Kondisi warung tersebut sebenarnya jauh dari kata layak, berdinding bilik bambu dan atap asbes yang bocor di sana-sini. Di warung itulah, Dedeh, Anang dan dua putranya tidur bersama.
Hampir setiap malam, Dedeh dan Anang yang baru memiliki putra kedua tidak bisa tidur dengan nyaman. Bukan perkara tangisan bayi, melainkan tidur mereka terganggu oleh nyamuk yang bersarang di got di depan warungnya.
Jika hujan, kaki mereka harus tergenang air setinggi mata kaki. Alhasil, tikus yang bersarang di got, bergerombol masuk ke celah-celah warungnya. Itu dilalui mereka selama lima tahun. Hidup di tengah pasar, Dedeh dan keluarganya tak bisa membedakan apakah hari masih siang atau malam, karena sama-sama panas dan pengap.
”Kami sekeluarga sampai harus tidur dengan tikus pak. Ya itu, karena got sama warung nggak jauh-jauhan. Tapi mau bagaimana lagi, memang harus dijalani pak,” terangnya.
Di saat itu, Dedeh dan Anang saling berkomitmen untuk membangun ekonominya dari nol. Anang yang sejak di kampung memiliki keterampilan menyetir, bekerja sebagai sopir truk di Pasar Sepatan. Sementara, Dedeh memilih berjualan gorengan dan kopi.
Kepada Klik BMI, Dedeh masih mengingat kapan ia menjadi anggota Kopsyah BMI. Awal September 2004, ia bersama tetangganya mendapat undangan dari RT setempat untuk mengikuti pertemuan. Di sana, Dedeh mendapat pendidikan perkoperasian lewat Latihan Wajib Kumpulan (LWK) oleh petugas Kopsyah BMI yang saat itu masih bernama LPP UMKM.
Setelah selesai, kumpulan mereka membahas nama rembug pusat yang akan dibentuk. Karena pertemuan pertama dimulai awal Ramadhan 1425 Hijriah, maka disepakati nama kurma sebagai nama RP. Modal pembiayaan yang diberikan Kopsyah BMI kepada Dedeh sebesar Rp 400 ribu. Tidak hanya mengangsur pembiayaan, Dedeh pun rajin menabung.
”Saya nggak ada usaha lain pak, cuma dagang gorengan sama kopi saja. Dan tidak kemana-mana. Dari pembiayan Kopsyah BMI saja sudah sangat berarti bagi kami,” jelasnya.
Lama-lama menjadi bukit. Impian Dedeh memiliki rumah mulai digapainya. Saat itu, tabungannya di Kopsyah BMI sudah mencapai Rp 20 juta. Dari tabungan itu, Dedeh membeli sebidang tanah di Kampung Babulak, Kelurahan Sepatan.
Lalu di tahun 2011, Dedeh akhirnya membangun rumah. Di tahun itulah, kondisi ekonomi Dedeh sekeluarga beranjak naik. Warung pertama Dedeh dikelola oleh sang keponakan, sementara ia pindah ke tempat yang baru. Hingga kini, pembiayaan Kopsyah BMI yang diangsurnya mencapai Rp 50 juta.
Saat Andiyanto (20), putra sulungnya memutuskan untuk membuka usaha bengkel. Dedeh pun membangun bengkel untuk si sulung tepat di halaman depan rumahnya. Dana pembangunannya pun berasal dari tabungannya di BMI.
”Anak saya yang pertama memang sejak lulus SMK sudah pengen mandiri. Sampai perusahaan motor bonafid dari Karawang sudah menelepon dia untuk kerja, ditolaknya. Padahal ranking terus di sekolahnya. Jurusannya di sekolah memang otomotif. Jadi saya dan suami sepakat bikinin dia bengkel,” ujarnya.
Putra sulungnya, Andiyanto menjadi saksi bagaimana perjuangan orang tuanya. Usianya baru beranjak enam tahun, saat orangtuanya memutuskan pindah ke Pasar Sepatan. Lajang ini paham betul, bagaimana keluarganya harus bersusah payah mencari nafkah agar ia dan adiknya bisa menjalani kehidupan yang stabil.
”Sebelum dibangun bengkelnya, semua alat sudah dibeli anak saya. Pakai uang tabungan sendiri. Pernah saya tes, buka bengkel kok pas di corona, nggak bakal rame. Eh malah dijawab, emang dulu emak buka warung langsung rame, semua ada prosesnya. Begitu katanya, bener-bener mau wirausaha kayak emaknya,” jelas Dedeh.
Di akhir perbincangan, Dedeh dan Anang bersyukur bisa bertemu dengan Kopsyah BMI. Ia mengatakan bahwa pembiayaan yang diberikan BMI harus dikelola dengan baik. Yang penting mau bekerja keras dan tetap bersyukur, walau hanya berdagang gorengan. Ia selalu bercerita dengan semangat agar anggota yang lain selalu jangan melupakan sedekah dan wakaf. Usaha gorengan yang dijalankan berjalan dengan baik dan memberi keberkahan pada kehidupannya
“Namanya usaha, pasti naik turun. Yang penting disyukuri dan dijalani dengan sungguh-sungguh. Pembiayaan yang diberikan BMI jangan diutak-atik selain usaha.Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih kepada BMI,” tandasnya.
Sementara, Presiden Direktur Koperasi BMI Kamaruddin Batubara mengatakan bahwa Koperasi BMI selalu beroreintasi untuk mensejahterakan anggotanya. “ Kita sangat fokus mengembangkan kesejahteraan pada lima pilar kesejahteraan. Anggota harus sejahtera dari sisi ekonomi, harus baik tingkat pendidikannya, harus selalu terjaga kesehatannya, harus mampu melakukan kegiatan sosial seperti memberikan infak dan wakaf dan harus lebih baik spiritualnya agar keberkahan hidup senantiasa dinikmati,” pungkasnya.
(gar/KLIKBMI)
jaya trus BMI