Belajar Memaafkan Dari Buya Hamka

Edu Syariah

Nasehat Dhuha Jumat, 17 Desember 2021| 12 Jumadil Awal 1443 H | Oleh : Sularto

Klikbmi, Tangerang – Dua tahun ulama  bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah  dibui tanpa proses pengadilan yang sah. Dakwaannya cukup membuat dag dig dug, ia dituduh hendak membunuh Presiden Soekarno dan Menteri Agama Syaifuddin Zuhri. Ia yang lebih dikenal dengan nama Hamka dan sering dipanggil Buya Hamka adalah sosok ulama yang bisa dijadikan panutan oleh kita semua.

Buya menderita di penjara akibat politik penguasa yang marah dan terlibat perebutan hegemoni tahta dalam sejarah Indonesia pascakemerdekaan. Tapi Hamka justru memberi mutiara berharga. Penjara tidak membuat dirinya jatuh pada sikap kerdil dendam kesumat. Dia maafkan Soekarno dengan jiwa ikhlas. Bahkan, di tengah sebagian umat yang sorot pandangnya sempat nyinyir, Hamka justru mengimami shalat jenazah tatkala Presiden Indonesia itu wafat tahun 1971. Hamka pulalah yang tak bersetuju pemerintahan Soeharto melarang buku-buku Pramoedya Ananta Toer pascatragedi G.30/S/PKI 1965, meski tokoh Lekra itu menjadi salah satu aktor yang menggiringnya ke penjara.

Politik kekuasaan sering melahirkan tragedi kelam. Bahkan Soekarno sang Proklamator itupun harus bernasib serupa di ujung hayatnya. Ia hidup terisolasi di Wisma Yaso untuk mengakhiri kisah perjuangannya yang panjang di negeri yang ikut ia dirikan. Lagi-lagi politik yang mengabdi pada hasrat kuasa semata memakan anak kandungnya sendiri tanpa rasa iba. Hidup dipergilirkan Allah SWT  bak roda  yang berputar (QS Ali Imran: 140). 140. Jika kamu (pada Perang Uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada Perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang zalim. (QS Ali Imran ( 140)

Buya Hamka ternama hingga ke negeri Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand, dan dunia Islam mancanegara. Dialah sosok ulama, pemikir, sastrawan, dan tokoh besar umat Islam, dan bangsa Indonesia. Karya keilmuannya tidak kurang dari 120 buku. Ketokohan, pemikiran, dan khazanah dirinya sungguh melampaui zamannya. Figur ini tampil tidak dalam sosok perkasa yang ditakuti orang, tetapi menjelma untuk  dihormati dan dijadikan teladan.

Hamka memberikan teladan tentang permaafan yang tulus. Apa kata Hamka, “Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Alquran 30 juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk menyelesaikan pekerjaan itu…”. Suatu ungkapan jiwa yang bersih dan mulia, di tengah kelaziman para perawat marah dan dendam politik tak berkesudahan.

Buya Hamka memberi pelajaran luhur tentang akhlak permaafan yang terjauhkan api dendam. Hamka  mempraktikkan tasawuf ihsan, suatu kebajikan yang melampaui orang biasa. Akhlak tentang sikap adil, damai, pemaaf, dan tidak dendam kesumat di arena politik yang terjal dan penuh bara. Pekerjaan akal budi yang utama seperti itu tidak dilakukan sembarang orang, tetapi lahir dari ruhani Islami yang terlatih dalam perjuangan hidup yang panjang.

Dalam bukunya Lembaga Hidup (2015), Hamka memberikan kesaksian: “Memang sulit mengubah seorang musuh menjadi kawan, kemudian menjadi sahabat, memadamkan kemarahan hati dan mengubah muka marah dengan senyum, memberi maaf kesalahan sehingga udara yang tadinya mendung menjadi terang benderang. Memang susah melakukan itu. Itu hanyalah pekerjaan orang yang hatinya memang hati waja, budinya budi emas; yaitu orang yang mempunyai kemauan besar dan cita-cita yang mulia. Memang susah! Tetapi menempuh kesusahan itulah yang harus kita coba, untuk kemuliaan jiwa kita sendiri.”

Perintah untuk memaafkan kesalahan orang lain juga disebutkan dalam Al-Qur’an. Salah satunya adalah surah al-A’raf [7] ayat 199 yang berbunyi :

“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf [7] ayat 199).

Menurut al-S’adi dalam kitabnya, Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan, surah al-A’raf [7] ayat 199 merangkum tentang sikap terpuji dalam bersosialisasi di masyarakat, mulai dari berinteraksi dengan baik seperti memaafkan orang lian, tidak saling bertikai, hingga memerintahkan segala perbuatan baik dan mencegah berbagai tindakan keburukan (saling tolong-menolong dalam ketakwaan).

Kata khudz atau ambillah bermakna memperoleh sesuatu untuk dimanfaatkan atau digunakan untuk memberi mudarat. Dalam kata ini terkandung arti memilih dari sekian banyak pilihan. Artinya, Allah swt memerintahkan manusia – melalui kata khudz – untuk memilih memaafkan kesalahan orang lain dibandingkan sikap-sikap lain yang mungkin dilakukan seperti membalas, marah, mengamuk, dan dendam (Tafsir al-Misbah [5]: 351).

Kemudian, maaf yang dimaksud dari surah al-A’raf [7] ayat 199 bukanlah sekedar ucapan belaka, melainkan memaafkan dengan sepenuh hati. Kata al-afwu atau maaf diambil dari akar kata yang terdiri dari huruf ‘ain, fa, dan waw akar ini memiliki dua kemungkinan makna, yakni meninggalkan sesuatu dan memintanya. Dari sini, kita dapat memahami bahwa seorang yang telah memaafkan kesalahan orang lain berarti ia benar-benar meninggalkan (menghapus) kesalahan tersebut.

Sedangkan al-Biqa’i memaknai khudz al-afwa dalam arti ambillah apa yang telah Allah anugerahkan, tanpa bersusah payah menyulitkan diri. Dengan kata lain surah al-A’raf [7] ayat 199 memerintahkan kita untuk menganggap entang kesalahan orang lain, tidak membesar-besarkannya, dan memaafkan dengan tulus bahkan sebelum orang yang bersangkutan meminta maaf (Tafsir al-Misbah [5]: 352).

Selain memerintahkan untuk memaafkan kesalahan orang lain, surah al-A’raf [7] ayat 199 juga mengaharkan kita untuk memerintahkan kepada kebaikan dengan cara yang makruf atau sesuai dengan kondisi masyarakat setempat agar kebaikan tersebut bisa diterima dengan baik. Kata makruf pada ayat ini bermakna kebajikan yang universal, jelas, diketahui dan sesuai norma masyarakat serta tidak bertentangan dengan syariat (Marah Labid [1]: 413).

Mari kita belajar memaafkan seperti Buya Hamka memaafkan orang yang telah menyaikiti dirinya.

Mari terus ber-ZISWAF (Zakat,Infaq,Sedekah dan Wakaf) melalui rekening ZISWAF Kopsyah BMI 7 2003 2017 1 (BSI eks BNI Syariah) a/n Benteng Mikro Indonesia atau menggunakan Simpanan Sukarela : 000020112016 atau bisa juga melalui DO IT BMI : 0000000888. (Sularto/Klikbmi)

Share on:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *