Nasehat Dhuha Senin, 19 Juli 2021 | 9 Dzulhijjah 1442 H| Oleh: Sularto
Klikbmi, Tangerang – BMI Kliker yang dimuliakan Allah SWT, tema kita kali ini adalah berlomba dengan waktu. Untuk berlomba dengan waktu kita perlu yang disebut dengan manajemen waktu. Yang dimaksud dengan manajemen waktu adalah mengatur waktu. Manajemen pada prinsipnya adalah mengatur, mengorganisasikan, atau memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya untuk aktivitas dan tujuan yang bermanfaat.
Pertama yang harus kita garis bawahi adalah bahwa Islam sangat menghargai waktu, karena waktu adalah sangat bernilai. Dalam al-Qur`an, Allah SWT pernah bersumpah dengan waktu, misalnya, dalam Q.s. Al-‘Ashr :
Wal ‘ashr, inna al-insân la fî khusr, illallazîna âmanû, wa ‘amilû al-shâlihât., wa tawâshau bi al-haqq, wa tawâshau bi al-shabr
Demi masa (waktu), sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman, Beramal saleh (mengerjakan kebajikan), Saling berwasiat dengan kebenaran, Dan saling berwasiat dengan kesabaran.
Dalam surah ini, Allah bersumpah dengan media “waktu” atau “masa”. Di sini, kita bisa menyimpulkan bahwa waktu begitu berharga, karena tidak mungkin Tuhan menggunakannya sebagai sarana/ media sumpah jika tidak bernilai, atau tidak penting. Waktu adalah sesuatu yang berharga, bernilai, dan penting. Seorang penafsir modern, Muhammad Asad, dalam karyanya, The Message of the Qur`an (h. 974), menerjemahkan kata al-‘ashr yang menjadi nama surah ini dengan “the flight of time” (berlalunya waktu), bukan dengan sekadar “waktu/ masa”.
Allah mengingatkan kita akan waktu (al-‘ashr) yang telah berlalu, tidak akan pernah bisa dikembalikan lagi. Istilah al-‘ashr adalah waktu yang terukur yang terdiri dari bagian-bagian periode, bukan seperti al-dahr yang juga digunakan oleh al-Qur`an yang bermakna waktu yang tak terbatas tanpa permulaan dan akhir.
Allah SWT membimbing bahwa agar manusia tidak “merugi”, ada 3 faktor yang bisa menjadikan manusia tidak akan dilindas oleh zaman, karena 3 faktor ini adalah faktor-faktor keberuntungan manusia, yaitu:
- Iman dan amal saleh, sebenarnya dua hal yang telah menjadi satu kesatuan yang saling terkait. Iman tanpa amal saleh menjadi kosong, karena iman ibaratkan wadah yang harus diisi, atau kata ulama, imannya hanya kadar rendah/ kurang, sedangkan amal saleh yang tanpa disertai iman, di mata al-Qur`an, tidak akan berarti secara teologis (ketuhanan) dan eskatologis (tidak dibalas di akherat nanti) seperti imannya orang kafir (habithat a’mâluhum)
- Saling mengingatkan dengan kebenaran. Al-haqq bisa berarti Yang Mahabenar (Tuhan, Allah swt). Jadi, manusia harus saling mengingatkan akan wujud Tuhan yang Maha Esa, Maha Kuasa, dan sebagainya. Kesadaran akan adanya Sang Pencipta di setiap napas kehidupan adalah kesadaran spiritual manusia yang menjadikannya bertahan dari gerusan zaman..
- Saling mengingatkan akan kesabaran. Apa sebenarnya kesabaran itu. Al-Râghib al-Ashfihânî dalam kamus al-Qur`an-nya, Mu’jam Alfâzh al-Qur`an (al-Mufardât fî Gharîb al-Qur`ân) h. 277, yang dimaksud dengan sabar adalah “menahan diri agar tetap sesuai dengan tuntutan pertimbangan akal dan syara’ (agama)” (habs al-nafs ‘alâ mâ yaqtadhîh al-‘aql wa al-syar’). Semula sabar secara kebahasaan berarti “bertahan dalam kesempitan”. Asal makna shabr dalam bahasa Arab memiliki 3 makna pokok, yaitu menahan, bagian yang tinggi dari sesuatu, dan sejenis batu (keras). Mengapa sabar diperlukan dalam kehidupan ini? Karena hidup ini tidak selalu berjalan mulus, melainkan selalu diwarnai oleh kesulitan, hambatan, atau cobaan hidup. Hidup tidak selalu dihiasi dengan kemudahan, melainkan diselingi juga dengan kesulitan.
Waktu sebaiknya dimanage dengan baik. Pertama, perencanaan (planning). Segala pekerjaan kita harus terencana dengan terbaik, tersusun, terjadual, disertai dengan target dan cara mencapainya. Dalam al-Qur`an dinyatakan,
Ya ayyuhalladzîna âmanûttaqû Allâh, wal tanzhur nafsun mâ qaddamat li ghadd
(Q.S. al-Hasyr/59: 18)
(Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaknya setiap jiwa/ orang merenungi apa yang telah dilakukan untuk hari esok)
Ayat sekaligus mengandung dua hal sekaligus, yaitu perencanan dan evaluasi. Menggunakan masa lalu sebagai cermin untuk masa depan mengandung pengertian mengevaluasi apa yang telah dilakukan, sekaligus untuk perencanaan masa depan. “Hari esok” mengandung pengertian hari esok yang merupakan jangka panjang, yaitu akherat, atau jangka pendek, yaitu kegiatan-kegiatan yang dilakukan selama hidup di dunia.
Dalam Islam, kita mungkin bisa menyebutkan niat sebagai perencanaan, bahkan mendekati pelaksanaan, karena yang disebut niat bukanlah apa yang terlintas di pikiran (hâdits nafs) atau angan-angan kosong (amal jamaknya âmâl, bukan ‘amal yang jamaknya a’mâl: perbuatan), melainkan tekad kuat (‘azm). Mungkin setiap memiliki cita-cita, tapi belum tentu menuangkan cita-cita itu dalam bentuk rencana yang tersusun baik.
Yang tidak kurang pentingnya dibandingkan perencanaan adalah pelaksanaan, perorganisasian, pengawasan, hingga evaluasi. Dalam Islam, misalnya, suatu kewajiban harus dilaksanakan sesuai dengan standar waktu yang ditentukan. Misalnya:
Inna al-shalât kânat ‘alâ al-mu`minîn kitâban mawqûtan (Q.S. al-Baqarah/2: 103)
(Sesungguhnya salahat adalah kewajiban yang ditentukan waktunya)
Oleh karena itu, kewajiban yang dilaksanakan di luar waktu tidak sah, seperti haji, atau minimal berkurang nilai, seperti sahalat yang dikerjakan di luar waktunya (di-qadhâ`).
Dalam memanage waktu, Islam mengajarkan adanya skala prioritas (fiqh al-awlawiyyah). Misalnya, harus mendahulukan kewajiban daripada yang sunnat. Dalam waktu yang sempit, misalnya, sebaiknya tidak mengerjakan pekerjaan sunat yang menyebabkan habisnya waktu untuk mengerjakan yang wajib. Kata kunci dalam memanage segalanya, tidak hanya soal ibadah, mungkin juga kuliah atau pekerjaan adalah “prioritas” (awlawiyyah). Jika studi/ kuliah merupakan prioritas pertama, maka waktu harus diberikan sebagian besarnya untuk studi/ kuliah pula, sehingga kegiatan-kegiatan lain yang sifat sekunder berada di bawahnya dalam skala prioritas. Mungkin banyak orang yang sudah berujar bahwa keberhasilan bukanlah semata persoalan kecerdasan, sekalipun itu sangat menentukan, melainkan juha persoalan memanage waktu.
Dalam memanage waktu, menarik sekali bahwa ternyata Nabi mengajar pembagian waktu selama 24 jam menjadi 1/3 (8 jam), yaitu 1/3 untuk kerja, 1/3 untuk beribadah, dan 1/3 untuk istirahat. Pertama, 8 jam kerja (katakanlah: masuk kerja jam 8, pulang jam 4 sore) adalah waktu yang ideal dan sebanding dengan kekuatan tenaga manusia dan proporsional dikaitkan dengan hak waktu untuk kegiatan lain.
Kedua, istirahat dalam pengertian di atas (tidak melulu tidur) selama 8 jam juga pembagian waktu yang ideal (katakanlah: tidur jam 21.00 [9 malam], bangun jam 05.00 [subuh]). Ketiga, beribadah selama 8 jam adalah proporsi ideal yang selama ini kurang kita perhatikan. Memang, harus dicatat bahwa pembagian ini tidak ketat, dan begitu juga setiap kegiatan tidak monoton, seperti ketika kerja bisa diselingi dengan istirahat dan shalat. Di samping itu, dalam Islam, memang kerja juga dipandang sebagai ibadah selama didasarkan atas niat ibadah, bukan semata mengejar kebutuhan materi.
Tapi, memang proporsi waktu untuk ibadah selama ini terasa kurang, padahal kalau kita memperhatikan dengan seksama pernyataan ayat berikut tampak bahwa proporsi antara aktivitas duniawi bukanlah fifty-fifty (50%:50%), melainkan untuk akherat lebih banyak dibandingkan untuk dunia: “dan carilah pada apa yang dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagian) negeri akherat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi…” (Q.S. al-Qashash (28): 77).
Setiap orang mempunyai umurnya sendiri-sendiri. Ada yang berumur hingga ratusan tahun, tetapi tak sedikit meninggal dunia saat muda. Namun hal terpenting, bagaimana seseorang mampu mengelola kesempatan yang diberikan Allah SWT berupa umur itu, untuk seoptimal mungkin menjalani ibadah juga mempersiapkan kematiannya.
Sayyid Sabiq melalui Fiqih Sunnah, mengatakan, setiap Muslim dianjurkan untuk membekali dirinya dengan amal saleh. Dengan demikian, mestinya mampu memanfaatkan umur yang melekat pada dirinya untuk mengumpulkan bekal perjalanan setelah kehidupan di dunia. Mari berlomba dengan waktu dengan kebaikan, karena umur dan waktu kita terbatas.
Mari terus ber-ZISWAF (Zakat,Infaq,Sedekah dan Wakaf) melalui rekening ZISWAF Kopsyah BMI 7 2003 2017 1 (BNI Syariah) a/n Benteng Mikro Indonesia atau menggunakan Simpanan Sukarela : 000020112016 atau bisa juga melalui DO IT BMI : 0000000888. (Sularto/Klikbmi).