Jakarta, klikbmi.com – Presiden Direktur Koperasi BMI Grup menjadi panelis dalam Focus Group Discussion (FGD) Penyusunan Kajian Pendukung Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional(RPJMN) 2025-2029 khususnya sektor pertanian, Kementerian PPN/BAPPENAS, Kamis 14 September 2023.
Kegiatan yang dihelat di Ballroom DoubleTree Hotel Jakarta ini membawa empat topik. Salah satu topik yang seksi diangkat adalah peningkatan akses terhadap sumber pembiayaan pertanian (Microfinance) melalui pasar, perluasan layanan dan pemasok input pertanian.
BACA JUGA : Kabar Gembira! Produktivitas Lahan Sawah Wakaf Kopsyah BMI Naik 240 Persen
Direktur Pangan dan Pertanian Bappenas RI Jarot Indarto menjelaskan, saat ini negeri kita masuk dalam tahapan pertama menuju Indonesia Emas 2045 yakni memfokuskan pondasi transformasi yang kuat (2025-2029). Di bidang pangan dan pertanian, Indonesia harus memiliki keragaman hayati dan sumber pertanian.
”Maka warna dan fokus pembangunan tidak hanya satu warna di level pusat, dan perlu dimasukkan keragaman-keragaman di wilayah yang kita punyai. Hingga harus ada cluster pembeda antara daerah satu dengan daerah lainnnya,” paparnya.
Strategi Ketahanan Pangan Menuju Indonesia Emas 2045
Dalam sesi FGD, peneliti Ahli Madya BRIN Ashari menjadi moderator acara. Para pesertanya adalah Presdir Koperasi BMI Grup bersama tiga undangan lainnya yakni Bank Sinarmas Syariah, offtaker jagung nasional PT Seger Agro Nusantara dan Perwakilan Bank Mandiri.

Ashari menjelaskan, ada beberapa problem yang terjadi untuk mewujudkan ketahanan pangan yang resilient. Diantaranya, kekurangan modal masih menjadi problem bagi petani. Kendati, sumber pembiayaan sudah banyak ragamnya, namun tidak berkelanjutan (sustainable).
Kemudian, akses petani terhadap pinjaman formal seringkali terbatas karena prosedur dari bank yang kompleks. Lalu, petani skala kecil masih mengandalkan tengkulak dalam penjualannya dan pengetahuan petani juga terbatas. Kemudian rendahnya ketertarikan milenial untuk turun ke sektor pertanian.
”Kami memohon ada input terkait solusi kebijakan, sesuatu yang strategis dan modern, sustain dan resilient ini dari bapak-bapak semua,” jelasnya.
Setelah berbincang selama 45 menit, Kambara sapaan akrab Kamaruddin Batubara ditunjuk oleh para peserta FGD untuk menyampaikan sejumlah poin dan solusi untuk pembiayaan petani untuk pertanian.

Hanya Orang Gila Yang Pakai Cara Yang Sama Untuk Hasil Yang Berbeda
Kalimat Albert Einstein menjadi pembuka Kambara saat menyampaikan pokok pikiran FGD di depan ratusan tamu undangan. “Hanya orang gila yang pakai cara yang sama dan ingin mendapatkan hasil yang berbeda,” kutipan ini disampaikan Ketua Pengurus Kopsyah BMI tersebut.
”Bapak ibu yang terhormat, saya ingin sampaikan kita harus melakukan cara berbeda untuk mencari solusi pembiayaan di petani. Karena jika kita masih pakai cara yang sama, maka hasilnya akan seperti itu lagi. Hanya orang gila yang ingin mencapai hal yang baru dengan cara yang sama,” paparnya.
BACA JUGA : Lahan Wakaf Produktif BMI, Menjaga Sawah Agar Tak Alih Fungsi
Kambara menjelaskan, suku bunga rendah terhadap pembiayaan nyatanya tak menjamin peningkatan produksi petani melalui pembiayaan yang ada. ”Petani Indonesia ini unik. Bahwa kita sepertinya salah melihat, ternyata bunga rendah untuk pembiayaan pertanian bukan solusi utama. Melainkan akses lebih utama yang berkelanjutanlah yang menjadi jalan keluar saat ini. Bapak ibu semua, pengalaman Koperasi BMI selama 20 tahun melihat di desa Indonesia ada lebih 10 lembaga pembiayaan dan LKM. Ini bukan jadi solusi tapi malah menjadi momok,” jelasnya.

Kambara menjelaskan, harus ada kolaborasi antara Kementerian yang terkait ketahanan pangan serta koperasi. Dari 134 ribu koperasi yang ada di Indonesia, 70 persen adalah koperasi simpan pinjam. Saat ini, fokus Kementerian haruslah mengerucut dengan membuat cluster produk pertanian atau pewilayahan komoditas dari seluruh Indonesia. Kemudian menargetkan koperasi untuk mendorong potensi bahan pangan di wilayahnya.
”Seperti di Pantai Utara Banten, kita punya potensi tambak udang. Kita target berapa ton yang akan dihasilkan oleh anggota koperasi. Dan pertanian hortikultura juga ditarget. Maka cara ini lebih menjamin ketersediaan pangan. Jadi memang bukan soal bunga, tapi pendekatannya yang harus berbeda,” paparnya.
Ekosistem Produksi Pertanian Dari Hulu ke Hilir
Selain bunga yang rendah, sambung Kambara, urusan prosedur pembiayaan ke bank juga menjadi problem. Sementara, lembaga keuangan mikro selain koperasi termasuk bank melihat petani masih tinggi risiko kreditnya.
”Misal ada pembiayaan yang bisa diangsur dengan sistem bayar panen. Dengan begitu, petani tidak kesulitan dalam mengangsur pembiayaan. Jika sudah menghasilkan, harus dibangun ekosistem antara lembaga keuangan, petani, toko sarana produksi pertanian (saprotan), sarana produksi peternakan (sapronak), pabrik-pabrik terkait, dinas pertanian dan peternakan terkait dan pasar (tradisional dan modern),” jelas Kambara.
BACA JUGA : Produk Simpanan Kopsyah BMI
“Di posisi ini, supermarket, hypermarket dan swalayan baik di Jakarta dan daerah memberikan kuota hasil hortikultura hasil pertanian di daerah agar lebih terfokus. Kendati demikian jangan melupakan pembinaan, pelatihan dan pendampingan agar produktivitasnya meningkat,” terang Alumnus IPB University itu.

Kambara juga mengutip pernyataan Guru Besar Agribisnis IPB University Bayu Krisnamurthi yang menyatakan komponen pertama ketahanan pangan adalah kesejahteraan petani. Ia sangat percaya bahwa No Farmers, No Food, No Future.
“Tidak ada petani, tidak ada makanan. Tidak ada makanan berarti tidak ada masa depan. Kalau kita ingin bangun ketahanan pangan, harus ada petani-petani yang menanam dan mengusahakannya. Petani-petani Indonesia harus sejahtera. Krisis pangan adalah hal yang serius, tapi di lapangan kebijakannya belum serius. Koperasi BMI sudah menjalankan pendekatan itu selama 21 tahun dan alhamdulillah kita berhasil melakukan itu dan banyak petani anggota kami semakin makmur,” ujarnya.
Kuota Pembiayaan 30 Persen Himbara Untuk Petani
Point yang penting adalah adanya dorongan kepada Bank Indonesia untuk mendorong bank-bank baik BUMN dan swasta memberikan 30 persen kuota pembiayaan untuk para petani dalam menghadapi krisis pangan dan problem pertanian lainnya.
”Pertanyaannya masih mau makan nggak besok? Itu ancamannya. Kalau sudah begitu, semua akan bergerak. Kemudian harus ada pendamping pertaniannyanya. Kalau belum ada, kita ajak Dinas Pertanian baik Kabupaten, Kota dan Provinsi untuk ikut ambil bagian dalam langkah ini. Tujuannya agar hasil panen lebih optimal. Dengan begitu, lembaga perbankan akan menghitung dan mengukur berapa jumlah pembiayaan untuk petani tersebut,” jelas Penulis Tiga Seri Buku Peradaban Baru Koperasi Indonesia itu.
Poin selanjutnya adalah perlu ada kajian lagi mengenai Kredit Usaha Rakyat (KUR) pertanian dengan syarat mudah dijangkau petani kebanyakan. Poin lain, pemerintah perlu mempertimbangkan pengelolaan lahan wakaf yang saat ini masih ada yang belum produktif. Untuk dana operasionalnya bisa melalui zakat produktif.
”Terakhir, untuk kaum milenial yang ingin kembali jadi petani solusinya ya mereka harus mendapat gaji. Misalnya kita menanam lahan jagung bisa 8-9 per hektar, tentu bisa mengukur berapa gajinya sebulan. Orang sekarang kan lebih tertarik dapat gaji bulanan. Pekerjaan memang banyak, tapi yang ada gajinya nggak ada. Jadi langkah yang perlu kita lakukan, melakukan pendekatan yang berbeda,” tandas Kambara. (togar/humas)
No farmer no food no future