Pasca Omnibus Law, Apa Koperasi Lantas Berlari?

Pojok Bara

Oleh : Kamaruddin Batubara, SE, ME

Omnibus Law telah disahkan, pendirian koperasi cukup sembilan orang. Pertanyaanya, apakah itu yang menjadi masalah dasar atau akar masalah maju tidaknya koperasi Indonesia? Omnibus Law telah memutuskan penurunan secara drastis syarat jumlah pendiri dari 20 ke 9 orang, hal ini  memberi pesan ada upaya pemerintah mempermudah masyarakat mendirikan koperasi. Tujuan pemerintah tentu agar koperasi tumbuh massif dan organik di masyarakat. Hal ini sangat kontras dengan kebijakan Menkop & UKM sebelumnya (Puspayoga) dengan kebijakan reformasi total koperasi. Salah satu agenda reformasi total koperasi adalah pembubaran koperasi. Kemudahan dalam mendirikan koperasi juga berpotensi untuk membuat koperasi papan nama atau yang tidak aktif semakin banyak. Lalu jika banyak koperasi tidak aktif lagi apakah koperasi yang demikian juga mau dibubarkan. Tentu perlu energi yang besar untuk sekedar berurusan dengan pendirian atau pembubaran koperasi.

Koperasi di Indonesia sudah ada sejak 1906 dengan berdirinya Ahmadi & Co di Pulau Midai, Natuna. Gerakan koperasi paling masif dilakukan oleh Syarikat Islam pada 1913. Sejak Sokri berdiri 1947 sebagai wadah gerakan koperasi yang kini dikenal sebagai Dekopin, sampai saat ini kita belum bisa mencapai cita-cita berkoperasi yang sebenarnya. Sebelum koperasi banyak dibubarkan pada era reformasi total koperasi, tercatat 212.000 koperasi. Jika kita cermati perbandingan koperasi dan jumlah anggota  masih sangat minim. Berdasarkan data terbaru, jumlah anggota koperasi (Data Kemenkop & UKM) tercatat 22 juta orang dengan jumlah koperasi sebanyak 123.000, sehingga rata-rata jumlah anggota koperasi di Indonesia hanya 179 orang. Kita bisa bayangkan dengan jumlah anggota tersebut (179) apakah koperasi mampu menempatkan anggota sebagai pemilik, pengguna dan pengendali? Sebagai pemilik dan pengendali tentu bisa, tetapi sebagai pengguna captive market secara struktur ekonomi tidak akan terpenuhi. Jumlah 179 anggota orang tentu masih jauh dari skala ekonomi.

Pekerjaan rumah sebetulnya pada koperasi adalah pengelolaan bukan pendirian. Jika hanya sekedar mendirikan koperasi dan tidak memiliki bisnis yang mau dijalankan tentu ini juga akan timbul masalah baru. Koperasi papan nama akan semakin marak kembali. Persoalan lain adalah soal mental dan peluang. Kita tentu masih ingat betul bahwa koperasi-koperasi yang bermasalah adalah koperasi yang didirikan oleh orang yang melihat celah pendirian lembaga keuangan melalui koperasi lebih mudah di banding lembaga lain. Jika ini terjadi dimungkinkan akan muncul masalah seperti adanya Koperasi Pandawa, Koperasi Langit Biru, Koperasi Indosurya, Koperasi Hanson, Koperasi 5 Garuda dan sebetulnya masih banyak yang luput dari media.

Nasi sudah menjadi bubur, Omnibus Law sudah sah. Jika kita melihat positifnya, maka pemerintah harus menjaga bahwa Omnibus Law benar-benar akan membawa pada kemajuan koperasi. Jika pikiran ini yang kita terima, maka pembinaan dan pengawasan koperasi baru harus diperkuat kualitasnya. Penguatan pembinaan dan pengawasan menjadi harga mati jika ingin koperasi di negeri ini berkembang. Kemudahan pendirian koperasi primer nasional di setiap kabupaten/kota tentu jika tidak diperkuat dengan pola pengawasan yang baik bisa menimbulkan masalah baru. Penulis berharap pola pembinaan dan pengawasan harus ditingkatkan, pemerintah perlu membuka pos layanan dan pengaduan koperasi jika ada anggota yang merasa dirugikan. Dengan pola ini maka jika terjadi penyimpangan oleh oknum  koperasi akan mudah segera terdeteksi.

Dalam pandangan penulis, faktor paling penting dalam memajukan koperasi adalah pekerjaan setelah berdiri. Andaikata koperasi didirikan oleh 9 orang dan sah berdiri. Maka rencana yang harus berikan kepada pemerintah (sebagai pembina dan pengawas) setidaknya memuat beberapa elemen. Faktor utama koperasi  adalah orang (anggota), penting untuk menjadikan pertumbuhan jumlah anggota sebagai indikator. Jika dengan anggota yang hanya 9 itu asset koperasi bisa sangat besar mengalahkan asset anggota koperasi yang 10 ribu orang. Ada indikasi koperasi ini belum tentu menjadi media pemerataan ekonomi. Jika bertahun-tahun koperasi hanya dimiliki oleh 9 orang pemodal, lalu apa bedanya koperasi dengan Perseroan Terbatas (PT).

Pengawasan koperasi setidaknya juga menyangkut jatidiri koperasi bukan hanya semata-mata bisnis perusahaan yang diklaim berbadan hukum koperasi tetapi jauh dari nilai-nilai koperasi. Apa yang bisa kita banggakan ada satu perusahaan yang dimiliki oleh 9 orang namun jauh dari nilai-nilai koperasi tetapi berbadan hukum koperasi. Namun hal ini tidak akan terjadi jika dari awal pemerintah membuat pagar-pagar agar kemudahan ini tidak dimanfaatkan oleh orang yang opportunis yang justru dalam jangka panjang akan menjauhkan masyarakat dari koperasi.

Selain dari jumlah pendiri, omnibus law mengatur Rapat Anggota yang bisa dilakukan secara online. Sebenarnya perihal RAT online juga sebelumnya telah diatur pada peraturan menteri koperasi No. 19 Tahun 2015 tentang penyelenggaraan rapat anggota, pada pasal 16 diterangkan tentang rapat anggota dapat dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta saling melihat dan mendengar serta berpartisipasi langsung dalam rapat anggota. Penulis menduga Omnibus Law ini lebih memberi penekanan pada bolehnya rapat anggota secara online. Termasuk dalam hal pendirian koperasi makin mudah lagi bila pendirian koperasi juga dapat dilakukan secara online. Dengan kemudahan ini, penulis memproyeksikan akan banyak tumbuh koperasi-koperasi primer nasional yang diinisiasi dari berbagai kabupaten/kota di Indonesia.

Sebagai praktisi koperasi, penulis melihat munculnya Omnibus Law ini bisa menjadi peluang tetapi juga menjadi tantangan. Yang paling penting, prinsip dasar koperasi adalah penerapan prinsip, nilai dan jatidiri koperasi. Dengan memegang prinsip ini dan dengan budaya manajerial yang  baik, hadir atau tidak hadirnya Omnibus Law, selayaknya koperasi memang harus lebih maju. Sehingga koperasi berlari atau jalan di tempat,  tergantung pada baik tidaknya pengelolaan koperasi yang dilakukan oleh pengurus, pengawas dan partisipasi anggota.

*Penulis adalah Presiden Direktur Koperasi BMI, Penulis Buku Model BMI Syariah, Penerima Anugerah Lencana Bakti Koperasi 2017 Dari Kemenkop dan UKM RI dan Penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Wira Karya Dari Presiden RI 2018.

Share on:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *