Pertumbuhan Ekonomi Tanpa Pemerataan, Ibarat Sayur Tanpa Garam

Ekonomi

Klikbmi.com,Tangerang – Data angka kemiskinan dan pengangguran sejak tahun 2011 sampai dengan tahun 2019 menunjukkan terdapat korelasi positif antara angka pengangguran dan angka kemiskinan. Naik turunnya angka pengangguran dan angka kemiskinan secara nasional ternyata seiring sejalan. Data dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2019 yang diambil dari Indonesia Investments, Bank Dunia, Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia, International Monetary Fund (IMF) dan Fitch Ratings.

Pada tahun 2011 tercatat angka pengangguran 6,6 % dan angka kemiskinan 12,5 %, setahun setelahnya angka pengangguran 6,1 % dan angka kemiskinan 11,7 %, tahun 2013 angka pengangguran 6,3 % dan angka kemiskinan 11,5 %, tahun 2014 angka pengangguran 5,9 % dan angka kemiskinan 11,2 %, tahun 2015 angka pengangguran 6,2 % dan angka kemiskinan 11,2 %, tahun 2016 angka pengangguran 5,6 % dan angka kemiskinan 10,7 %, tahun 2017 angka pengangguran 5,5 % dan angka kemiskinan 10,1 %, tahun 2017 angka pengangguran 5,5 % dan angka kemiskinan 10,1 %, dan pada tahun 2018 angka pengangguran 5,3 % dan angka kemiskinan 10,0 %, dan tahun 2019 angka pengangguran 5,2 % dan angka kemiskinan 9,8 %.

Pertumbuhan ekonomi (economic growth) adalah peningkatan output di suatu perekonomian dari waktu ke waktu. Ini bisa jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, pertumbuhan mewakili peningkatan dalam output riil, biasanya dilihat dari perubahan  PDB riil. Masih dari data Indonesia Investments, Bank Dunia, Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia, International Monetary Fund (IMF) dan Fitch Ratings. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2011 tercatat 6,2, setahun setelahnya 6,0 %, tahun 2013 sebesar 5,6 % , tahun 2014 terbukukan 5,0%, 2015 sebesar 4,8 %, 2016 sebesar 5,0, tahun 2017 sebesar 5,1%, Tahun 2018 sebesar 5,2 dan tahun 2018 sebesar 5,1%. Pertumbuhan ekonomi kita tidak lebih dari angka 5 % sejak pemerintahan Jokowi.

Pertumbuhan ekonomi secara teoritis akan mempu menaikkan pendapatan perkapita masyarakat, pinjaman pemerintah akan menurun karena pajak-pajak yang meningkat dari masyarakat, peningkatan layanan publik, meningkatnya investasi, dan meningkatnya harapan hidup dan kesejahteraan. Merujuk riset tentang hubungan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan oleh Simon Kuznet dan Michael P.Thodaro, pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan di banyak negara cenderung memburuk. Namun pada tahap selanjutnya, distribusi pendapatan akan membaik. Artinya hampir di banyak negara, pada setiap awal pembangunannya berorintasi agar ekonominya tumbuh dulu. Setelah itu baru diratakan penyebarannya. Ukuran distribusi pendapatan biasanya dengan koefisien gini (gini ratio), yaitu satu ukuran yang paling sering digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh.

Data BPS Indeks Gini Ratio pada 2017 mencapai 0,393 turun sedikit dibandingkan 2016 yang sebesar 0,397. Ini sebagai pertanda tingkat ketimpangan di Indonesia kembali dalam kategori rendah (<0,4). Kategori sedang ada pada angka 0,4-0.5 dan ketegori ketimpangan tinggi atau parah bila >0,5. Bandingkan dengan angka pada September 2014, angka tertinggi, ada pada 0,414. Tren jangka panjang yang merupakan ukuran yang lebih bisa diterima ternyata memburuk dan menunjukkan konsentrasi kekayaan pada segelintir orang. “Data Bank Dunia tentang konsentrasi kekayaan menunjukkan kondisi ketimpangan ;yang amat parah. Indonesia menduduki peringkat ketiga terparah setelah Rusia dan Thailand. Menurut LSM Oxfam (Feb 2017) Indonesia adalah negara dengan ketimpangan kekayaan ke-6 terburuk sedunia, ditunjukkan dengan  4 orang terkaya di Indonesia punya kekayaan setara 100 juta orang. Soal distribusi tanah, rasio gini tanah menunjukkan ketimpangan luar biasa. Kata data,menyebut  68% tanah dikuasai oleh hanya 1% p

Kamaruddin Batubara, Presiden Direktur Koperasi BMI, menyampaikan perlunya berbagai langkah untuk mengatasi ketimpangan di republik ini, yang utama adalah berusaha membangun dengan pemerataan. Membangun dengan mengutamakan pertumbuhan ekonomi akan menciptakan ketimpangan dan ini merupakan diskontruksi pembangunan. Pembangunan jadi tidak manusiawi, yang kaya terlihat kaya yang miskin semakin terlihat miskin. Pembangunan seperti ini harus dihindari, pemerintah harus berani melakukan perubahan yang signifikan terhadap proses pembangunan. Proses pembangunan baik subjek maupun objeknya harus bener-benar berada pada masyarakat kebanyakan.

“Proses pembangunan yang melibatkan masyarakat secara luas tidak lain adalah koperasi. Koperasi yang dikelola dengan benar sesuai dengan jatidiri koperasi akan mempu memeratakan pembangunan dan menjamin keadilan. Pembangunan tanpa pemerataan ibarat sayur tanpa garam, hal seperti ini tentu akan luput dari tujuan pembangunan” tegas Kamaruddin Batubara di Tangerang, Senen, 20 Januari 2020. (Sularto/Klikbmi.com)

Share on:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *