Nasehat Dhuha Selasa, 8 Juni 2021 | 27 Syawal 1442 H| Oleh : Sarwo Edy,ME
Klikbmi, Tangerang – Setiap seorang hamba mempunyai cerita perjalanan masing-masing yang sudah tertulis di lauhil mahfudz sebelum dunia ini diciptakan. Hal itu merupakan salah satu bentuk kuasa Allah terhadap apa yang diciptakan-Nya. Dan setiap kita diperintahkan untuk ridha terhadapnya. Ridha adalah sikap ikhlas menerima apa yang terjadi pada setiap insan, baik itu berupa kebaikan maupun keburukan. Dan ridha adalah satu satu cerminan terhadap iman kepada qadha dan qadar.
Ridha adalah sikap yang mengikutkan hati sebagai pusatnya. Tidaklah suatu hamba bisa ridha terhadap apa yang ditetapkan oleh Allah tanpa adanya iman yang kuat di dalam hatinya. Tidaklah ada ridha di dalam seseorang yang hatinya kosong dari sifat qona’ah (merasa cukup). Dan beruntunglah orang yang di dalam hatinya ada sifat ridha karena disitulah salah satu kenikmatan iman seseorang. Rasulullah SAW bersabda :”Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta Nabi Muhammad sebagai rasulnya”(HR. Muslim)
Ridha adalah sikap yang mungkin agak ringan pengucapannya di lisan tapi berat untuk dilakukannya di hati. Tidak ada tujuan yang lebih baik dari seseorang hamba yang hidup di dunia ini selain mendapatkan ridha-Nya. Kenyamanan hidup, harta yang melimpah, anak yang banyak, dan segala apapun yang diinginkan akan terasa hampa jika tidak mendapat ridha-Nya. Jika dalam hidup ini kita berharap mendapat ridha dari-Nya dari apapun yang kita kerjakan, Tapi apakah kita sudah ridha dari apapun yang Allah tetapkan?
Ja’far bin sulaiman ash-shun’I bercerita : Suatu hari, ketika sufyan ats-Tsauri berada di tempat Robi’ah Al-Adawiyyah, ia berseru, “Ya Allah Ridhai kami”. Robi’ah menukas,”Tidakkah kamu malu kepada Allah meminta Ridha-Nya, sementara kamu sendiri tidak ridha terhadap-Nya?”
Sufyan berkata,”Astaghfirullah, aku memohon ampun kepada Allah”.
Aku lalu bertanya kepada Robi’ah,”Kapan seorang hamba menjadi orang yang ridha terhadap Allah?” Ia menjawab,”Jika kebahagiannya menyambut musibah sama seperti kebahagiannya menyambut nikmat”. Jadi ada yang namanya hubungan timbal balik. Kita memohon ridha-Nya (terhadap apa yang kita kerjakan) dan kita selalu ridha (terhadap apa yang ditetapkan). Memang ridha terhadap apa yang ditetapkan itu agak berat untuk dikerjakan. Terasa ringan jika ketetapan itu seakan “menguntungkan” kita dan terasa berat jika ketetapan itu seakan “merugikan” kita.
Ada beberapa kiat agar kita bisa mencapai derajat ridha terhadap apa yang ditentukan Allah, baik itu ketentuan baik atau buruk :
1. Menyadari bahwa Allah yang paling berhak atas diri kita
Sebagaimana kita tahu bahwa Allah tidak menciptakan jin dan manusia selain untuk menyembah-Nya dan kita tidak ada kewenangan untuk protes maupun mengkritik dari apapun yang ditetapkan-Nya. Sebagaimana yang termaktub di dalam surat Al-Hajj ayat 18 :
“Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki”
2. Meyakini bahwa musibah dan ujian bisa jadi bentuk cinta Allah
Jika kita dihadapkan pada ketentuan yang terlihat “merugikan” kita dalam bentuk ujian yang seakan berbanding terbalik dengan keinginan kita, Maka kita wajib meyakini bisa jadi itu merupakan salah satu bentuk cinta Allah pada seorang hamba dan bisa jadi ada balasan besar di baliknya. “Sesungguhnya besarnya balasan tergantung besarnya ujian, dan sesungguhnya Allah ta’ala apabila mencintai suatu kaum maka Allah akan menguji mereka (dengan suatu musibah), maka barang siapa yang ridha maka baginya keridhaan (dari Allah) dan barang siapa yang marah maka baginya kemarahan (Allah)”. (HR. At-Tirmidzi)
3. Percaya bahwa Allah selalu memberi yang terbaik untuk diri kita
Mungkin dalam suatu kesempatan kita melihat suatu keburukan yang menimpa kita (dalam kaca mata kita yang tidak sempurna ini). Tapi yang pasti dalam pandangan Allah ada kebaikan untuk diri kita. Hal tersebut sesuai firman Allah yang termaktub di dalam surat Al-Baqarah ayat 216 yang berbunyi :
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.
يٰٓأَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
ٱرْجِعِىٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً
Hai jiwa yang tenang, Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha lagi diridhai-Nya (Surat Al-Fajr : 27 – 28)
Dari ayat di atas, tersirat bahwa seorang hamba akan “dimudahkan” untuk masuk surga-Nya jika sudah ada ridha (di dalam hatinya) dan mendapat ridha (dari Tuhannya). Dan mengisyaratkan juga bahwa kita tidak akan mendapatkan ridha-Nya jika kita tidak ridha (terhadap ketetapan-Nya).
Semoga kita semua termasuk hamba-hamba yang “Rodhiyatan Mardhiyyatan” yang selalu ridha terhadap apapun yang ditetapkan-Nya dan mendapatkan Ridha-Nya sehingga masuk surga-Nya. Aamiin. Mari terus ber-ZISWAF (Zakat,Infaq,Sedekah dan Wakaf) melalui rekening ZISWAF Kopsyah BMI 7 2003 2017 1 (BNI Syariah) a/n Benteng Mikro Indonesia atau menggunakan Simpanan Sukarela : 000020112016 atau bisa juga melalui DO IT BMI : 0000000888. (Sularto/Klikbmi).