DR. Lukman : Koperasi Abal-Abal Menjamur, Purifikasi Koperasi Mendesak Dilakukan

Nasional

Klikbmi.com, Tangerang – Koperasi abal-abal terus menghantui pikiran pegiat koperasi yang benar-benar berjuang untuk kesejahteraan anggota dan masyarakat (calon anggota). Langkah yang progresif dari pelaku koperasi yang kreatif mencari cara memajukan perekonomian anggota seperti mendapat jalan sempit bahkan jalan buntu. Citra koperasi yang menuju baik tiba-tiba tersendat dengan berita gagal bayar koperasi. Koperasi abal-abal bermuka manis sebagai koperasi, tetapi jiwanya jauh dari jatidiri, prinsip dan nilai koperasi.

Sekedar mengingatkan, tahun 2012 muncul kasus Koperasi Langit Biru (PT PT Transindo Jaya Komara), awal tahun 2017 muncul kasus Koperasi Simpan Pinjam Pandawa Mandiri, akhir tahun 2017 masalah kembali muncul, 12 koperasi bermasalah diduga melakukan praktik menyimpang. Kedua belas koperasi bermasalah itu adalah Koperasi Cassava Agro (Bogor), KSP Pandawa Mandiri Grup (Depok), KSP Wein Sukses (Kupang), KSPPS BMT CSI Syariah Sejahtera (Cirebon), dan KSPPS BMT CSI Madani Nusantara (Cirebon). Berikutnya, Koperasi Pandawa/Koperasi Indonesia (Malang), Koperasi Bintang Abadi Sejahtera (Bogor), Koperasi Segitiga Bermuda (Gowa), Koperasi Merah Putih (Tangsel), Koperasi Budaya Bank Bumi Daya (Riau), Koperasi Harus Sukses Bersama (Jambi), dan Koperasi Karya Putra Alam (Gunung Putri, Bogor).

Kasus gagal bayar Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya Cipta dan Koperasi Hanson Mitra Mandiri awal tahun ini menjadi warning lampu kuning, koperasi masih mudah dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk mempraktekkan koperasi abal-abal yang merugikan kepentingan masyarakat. Banyak celah sebagai pintu masuk yang digunakan oleh perorangan maupun badan usaha yang awalnya berbentuk perseroan terbatas atau grup bisnis lalu masuk bertransformasi menjadi koperasi untuk melakukan penghimpunan dana masyarakat.

Pagi ini klikbmi berkesempatan wawancara dengan telepon dengan Dr Lukman dari FEM IPB salah satu pakar koperasi dari IPB. Celah pintu masuk paling mendasar yang dimanfaatkan oleh koperasi abal-abal terutama pada tiga hal. Ketiga hal ini antara lain pengawasan yang lemah dari otoritas koperasi di Indonesia, sanksi administrasi dan hukum yang kurang jelas dan pengetahuan masyarakat yang lemah dari masyarakat. Ketiga hal ini diperparah dengan masih adanya kesalahan pemahaman dari pembina koperasi ditingkat pusat sampai daerah.
Dengan tegas Dr Lukman mengatakan pemerintah harus lebih tegas menutup koperasi abal-abal agar citra koperasi terjaga. Oleh karenanya pengawasan melekat pada daerah tingkat dua (Dinas Koperasi Kabupaten/Kota) sangat perlu dilakukan lebih giat. Koperasi dengan ijin operasi nasional maupun propinsi yang beroperasi di kabupaten/kota harus dilakukan pengawasan oleh dinas. Pengawasan koperasi hendaklah menegasikan beberapa indikator bahwa koperasi lebih baik bukan karena bertambahnya jumlah koperasi tetapi meningkatnya kualitas koperasi.

“Saya melihat saat Menkop terdahulu, Bapak Puspayoga telah memulai reformasi total koperasi dengan membubarkan koperasi papan nama dan koperasi bermasalah merupakan salah satu langkah purifikasi yang bagus untuk koperasi kita. Sehingga jumlah koperasi dari 212.000 saat itu menjadi 120.000 pada tahun ini.

Ditanya tentang apakah pengawasan koperasi perlu membentuk Lembaga pengawasan koperasi di luar Kemenkop, Dr Lukman menegaskan perlunya mengoptimalkan fungsi bidang pengawasan dan belum perlu untuk membentuk lembaga tersendiri. Faktor kuncinya adalah pengawasan di tingkat dinas kabupaten/kota yang harus pro aktif menelisik apakah koperasi di wilayahnya ada pelanggaran atau tidak.

Dr Lukman melihat perlu segera dilakukan penyempurnaan undang-undang koperasi No 25 Tahun 1992, bukan hanya larena kadaluarsa tetapi sejak awal undang-undang ini sudah menimbulkan pro kontra. Koperasi harusnya dijadikan sebagai lembaga otonom merujuk pada pengertian koperasi menurut International Cooperative Alliance. Koperasi bukan sebuah usaha kecil atau usaha menengah, tapi koperasi merupakan wadah bergabungnya para pelaku UMKM untuk meningkatkan usaha dan kesejahteraannya. Pemurnian koperasi mesti diawali dari defenisi bahwa koperasi merupakan lembaga yang dibuat untuk kepentingan kelompok otonom ini. Dr Lukman melihat UU No 17 Tahun 2012 memang banyak terjadi kesalahan prinsipil, misalnya dalam penjenisan koperasi. Koperasi sebagai lembaga otonom harusnya mandiri dan tergantung pada keinginan kelompok yang bergabung. Mungkin bisa dirubah sbb: Koperasi harusnya dijadikan sebagai lembaga otonom merujuk pada pengertian koperasi menurut International Cooperative Alliance. Koperasi bukan sebuah usaha kecil atau usaha menengah, tapi koperasi merupakan wadah bergabungnya para pelaku UMKM untuk meningkatkan usaha dan kesejahteraannya.

“Membatasi jenis koperasi menjadi koperasi konsumen, produsen, pemasaran, jasa, dan KSP setidaknya telah mengotakkan kebutuhan berkoperasi menjadi lebih rumit. Fakta di lapangan, anggota bergabung di koperasi sebagai lembaga otonom memiliki banyak fungsi dan keinginan. Harusnya usaha koperasi didasarkan pada kebutuhan anggota yang otonom tadi, masak setiap tahun anggota koperasi harus membentuk koperasi baru. Menurut saya koperasinya cukup satu, dengan RAT, anggota bisa menyetujui bisnis apa yang bisa menjembatani kebutuhan anggota untuk lebih sejahtera. Pada masa Bapak Ibnu Sudjono masih hidup kita sejak awal telah membicarakan bahwa koperasi tidak akan bisa berkembang baik dengan instrument UU No. 25 Tahun 1992, dan jika sampai saat ini UU ini masih yang berlaku, ini ibarat mummi yang dihidupkan kembal” terang Dr Lukman.

Pemurnian koperasi bisa diawali dari adanya integritas pengurus dan pengawas. “Kita melihat organ pengawas juga lemah, sehingga fungsi pengawas banyak dipinggirkan dan tidak punya daya kepengawasan yang cukup. Ini juga merupakan pekerjaan rumah kita saat ini. Selain itu, pengurus dan pengawas seringnya merupakan satu kelompok kepentingan yang sama dalam melaksanakan program kerja koperasi. Jika programnya baik bisa jadi koperasi akan berjalan baik, tetapi jika program koperasi disetting untuk menjadi koperasi abal-abal maka tidak ada kontrol dari siapapun. Apalagi terjadinya mekanisme di mana anggota tidak memiliki pemahaman yang sempurna terhadap hak dan kewajiban dalam berkoperasi.

Menutup pembicaraan, Dr Lukman menyoroti peran Dekopin dan turunannya, sebagai satu-satunya gerakan koperasi yang diakui oleh UU, Dekopin harus ikut menjaga marwah koperasi dengan melaksanakan fungsi-fungsi yang lowong yang tidak dilakukan oleh pemerintah dan koperasi primer. Pendidikan koperasi, pengawasan terhadap koperasi dan kegiatan advokasi koperasi harus dijalankan oleh Dekopin. Jika peran masing-masing lembaga mampu optimal maka setidaknya purifikasi koperasi yang minimal dapat dilakukan. (LA/Klikbmi)

Share on:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *