Klikbmi.com, Tangerang – Koperasi Indonesia awal tahun 2020, kembali mendapat kado tak sedap. Kasus gagal bayar pada koperasi kembali terjadi dan menjadi sorotan masyarakat luas. Kasus gagal bayar Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya Cipta dan Koperasi Hanson Mitra Mandiri mengemuka dan menjadi bahan pembicaraan masyarakat luas.
Namun praktisi koperasi dibuat terkejut dengan berita di media Kontan (6/6/2020) yang menyebutkan Kemenkop melalui Staf Khusus Menteri Bidang Hukum, Pengawasan Koperasi dan Pembiayaan Kementerian Koperasi dan UKM, Agus Santoso menilai koperasi gagal bayar karena koperasi menjalankan praktik shadow banking.
Koperasi dipersalahkan telah menghimpun dana anggota dengan bunga tinggi melampaui bank. Juga dipersalahkan karena tidak punya izin menghimpun dana masyarakat dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Kemenkop meminta masyarakat perlu bersikap waspada agar tidak mudah tergiur iming-iming bunga tinggi dari koperasi. Agus Santoso menilai produk jasa keuangan yang ditawarkan oleh koperasi sangat mirip dengan bank yaitu meniru tabungan dan deposito atau simpanan berjangka, bukan dalam bentuk simpanan pokok, simpanan wajib dan simpanan sukarela.
Dimintai tanggapan atas berita ini, Kamarudin Batubara, Presiden Direktur Kopsyah BMI mengatakan bahwa penyimpangan oleh koperasi yang terjadi di Indonesia umumnya dilakukan oleh koperasi yang didirikan oleh para pengusaha atau kelompok pebisnis.
“Kenyataan di lapangan kita perlu pahami, ada koperasi yang didirikan oleh pengusaha dan kelompok bisnis dan ada koperasi yang didirikan oleh kelompok masyarakat. Ini sudah kita perhatikan, semua koperasi gagal bayar bukan berasal dari bentukan atas kebutuhan masyarakat” ujar Kamarudin Batubara
“Pada kasus koperasi gagal bayar seperti Indosurya dan Hanson bukan semata-mata soal margin, tapi dimungkinkan adanya penyimpangan penggunaan dana atau alokasi yang seharusnya diberikan pembiayaan atau pinjaman kepada anggota tetapi digunakan pada alokasi yang tidak tepat” tambah Kamaruddin Batubara.
Kamaruddin Batubara memberikan saran kepada Kemenkop untuk kembali menelusuri siapa di belakang koperasi gagal tersebut dan melihat kembali bagaimana proses perizinan sampai keluar badan hukum koperasi dan perijiinan simpan pinjamnya.
Koperasi jelas-jelas tidak perlu mengajukan ijin OJK dalam mengembangkan produk tabungan koperasi. Segala bentuk praktek KSP/KSPPS telah diatur oleh Permenkop. Kita perlu melihat Permenkop No.15/per/M.KUKM/IX/2015 tentang Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi dan Permenkop No.11/per/M.KUKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan usaha simpan pinjam dan pembiayaan syariah oleh koperasi. Kita lihat kembali Bab I pasal 1 ayat 14 Permenkop No.15 /per/M.KUKM/IX/2015 dan Permenkop No 11/per/M.KUKM/XII/2017, Bab I pasal 1 ayat 21 tentang simpanan berjangka. Koperasi baik KSP/KSPPS diperbolehkan memiliki produk simpanan berjangka.
Simpanan berjangka menurut kedua Permenkop adalah simpanan pada koperasi yang penyetorannya sekali dan penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu menurut perjanjian antara penyimpan dan koperasi. Sehingga produk simpanan berjangka atau biasa disebut dengan deposito bukanlah praktek shadow bangking. Karena memang tidak ada pelanggaran apapun yang dilakukan oleh koperasi.
Dalam penjelasannya Kamaruddin Batubara menyampaikan membandingkan koperasi dengan bank sangat tidak tepat. Koperasi didirikan dan dimiliki oleh anggota sehingga jika koperasi memberikan margin lebih besar pada penyimpan (anggota) itu merupakan bentuk dari upaya memberikan kesejahteraan pada anggota. Koperasi yang memberikan margin lebih tinggi dari bank jangan selalu diidentikkan dengan pengelolaan yang buruk. Stigma ini sungguh sangat keliru.
Kamaruddin Batubara mengajak semua pihak termasuk semua elemen Kemenkop untuk memberikan pernyataan yang menyejukkan sehingga tidak terjadi salah tafsir oleh masyarakat. “Saya ajak semua unsur gerakan koperasi untuk membuat pernyataan yang tidak menimbulkan salah tafsir di tengah masyarakat” pungkas Kamaruddin Batubara. (Klikbmi/LA)