Nasehat Dhuha Senin, 19 April 2021 | Hari Ke-7 Rmadhan 1442 H | Oleh : Sularto
Klikbmi, Tangerang – BMI Kliker di manapun berada, pujian syukur mari terus kita haturkan kepada Allah SWT karena kita telah menyelesaikan dengan baik puasa kita sampai hari ke 6. Hari ini kita memasuki hari ke -7 ramadhan dan tentu kita ingin terus meningkatkan iman kita. Tema kita hari ini adalah memperkuat iman. Pembahasan kita kali ini ditulis atas ceramah Ustadz Adi Hidayat yeng berfokus pada cara menaikkan iman dengan cara meningkatkan amal shaleh dan meninggalkan maksiat.
Iman yang semakin kuat selalu diiringin oleh meningkatnya amal shaleh. Amal shaleh dapat dimulai dari mengerjakan amal shaleh atau perintah Allah SWT yang tidak perlu menggunakan harta. Meningkatnya iman dapat distimulasi dengan mengerjakan sholat secara benar dan khusuk. Orang yang khusuk dalam sholatnya tidak akan berlaku tidak baik. Ucapan sholat yang dimulai dengan Allahu Akbar mengisyaratkan bahwa yang besar hanya Allah SWT. Jika kesadaran ini melekat pada setiap orang yang sholat maka mustahil ada pejabat yang sombong, mustahil ada pengusaha yang sombong dan mustahil pula ada pedagang yang tidak jujur.
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: “Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu dengannya Allah menghapus dosa-dosa dan mengangkat derajat? Sahabat berkata, “Baik wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda: “Sempurnakan wudhu pada waktu sulit, banyak melangkah ke masjid, dan menunggu shalat berikutnya setelah shalat (sebelumnya). Itulah ribat (menjaga ketaatan), itulah ribat.” (HR. Muslim)
Islam sebagai agama memiliki dua dimensi ajaran, yaitu lahir maupun batin. Keimanan adalah bagian dari dimensi batin yang menjadi dasar seseorang berislam. Dimensi batin ini memengaruhi gerak lahir, berupa praktik keislaman, utamanya rukun Islam yang lima. Oleh karena itu, dalam pandangan Nabi mengingat pentingnya, keimanan ini harus dijaga dengan beberapa amalan. Menurut kesepakatan ulama akan suatu kaidah penting dalam bab keimanan, yaitu al-imanu yazid wa yanqush, iman itu mengalami fluktuasi, naik-bertambah dan turun-berkurang. Hal ini seiring dengan prinsip ajaran Islam lainnya, bahwa manusia tidak akan terbebas dari dosa (mashum). Maka hadits di atas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya, menjadi bukti bahwa Nabi saat berdialog, sebagai salah satu metode pengajaran Nabi kepada para sahabatnya, beliau menyadari akan karakteristik gerak keimanan yang akan terjadi pada sahabat yang merepresentasikan kondisi iman dan batin umatnya secara umum di masa yang akan datang.
Selain Imam Muslim, hadits yang diriwayatkan melalui dua jalur, yaitu dari Syu’aib dan Malik bin Anas ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad, Abu Dawud dan An-Nasa’iy dalam Sunan-nya, serta Ibnu Hibban dalam Shahih-nya. Beberapa hikmah dari hadits di atas. Pertama, mengenai penghapusan dosa dan derajat keimanan. Al-Qadhi ‘Iyadh berkomentar, bahwa terhapusnya kesalahan, berarti ibarat diampuninya dosa sekaligus dihapuskannya dosa dari kitab cacatan seseorang. Bisa dibayangkan ukuran kitab catatan amal kita dengan istilah yang muncul sekarang, yaitu big data. Demikian menunjukkan akan keluasan rahmat dan kasih sayang Allah kepada hambaNya dengan menunjukkan jalan-jalan kebaikan yang dapat menebus kesalahan sehingga menaikkan dan meninggikan derajat keimananmereka di surga.
Artinya, keimanan seorang Muslim itu mempunyai tingkatan-level sebagaimana para ahli tasawuf seperti Imam Al-Ghazali yang telah membuat pemeringkatan iman. Namun jika kita merujuk dalam Al-Qur’an, istilah-istilah penyebutan terhadap orang yang beriman menunjukkan adanya pemeringkatan iman itu sendiri. Istilah pertama dengan “amanu” yang menunjukkan level iman standar-dasar. Istilah kedua dengan “yu’minun” yang menunjukkan level keimanan kedua, dimana ditandai dengan iman yang mulai menguat. Dan ketiga, istilah “al-mu’minun” yaitu level tertinggi dimana iman orang tersebut telah stabil posisi kuatnya. Pemeringkatan iman ini akan berdampak pada balasan posisi derajat ke berapa iman seseorang tersebut di surga.
Kedua, tentang amalan-amalan yang tersebut dalam hadits di atas, dimana dapat menghapus dosa dan meningkatkan derajat keimanan. Isbaghul- wudhu’ dimaksudkan pada ikhtiar menyempurnakan wudhu, yang secara lahir dengan membasuh-lebihkan bagian-bagian tubuh yang memang harus dibasuh. Terutama ketika kondisi sulit dan tidak memungkinkan untuk menyempurnakannya, tetapi kita tetap bertekad kuat melaksanakan untuk menyempurnakannya. Semisal ketika cuaca dingin, badan dalam kondisi tidak fit, dan atau ketika antrian memanjang saat hendak wudhu di masjid. Meski secara fikih, kondisi-kondisi tersebut dapat dimaafkan. Itulah suatu ikhtiar yang dalam hadits ini disebut sebagai ribath, yang makna asalnya adalah menahan diri dari sesuatu. Ibnu Abu Hatim menambah penjelasan bahwa makna “fadzalikum al-ribath” adalah gugurnya dosa seseorang sehabis menyempurnakan wudhunya.
Orang yang melakukan ribath, berarti menahan diri untuk melakukan amalan tersebut terus menerus. Termasuk dalam perintah yang kedua untuk senantiasa istiqamah, terutama, melaksanakan shalat jamaah lima waktu ke masjid yang diibaratkan dengan “kasratul-khuta ila al-masajid”. BMI kliker yang dimuliakan Allah SWT mari terus menjaga ketaatan di bulan Ramadhan ini, terus meningkatkan amal shaleh, karena dengannya secara otomatis iman kita akan meningkat.
Mari salurkan sedekah terbaik kita sebagai bentuk ketatan kita melalui rekening ZISWAF Kopsyah BMI 7 2003 2017 1 (BNI Syariah) a/n Benteng Mikro Indonesia atau menggunakan Simpanan Sukarela : 000020112016 atau bisa juga melalui DO IT BMI : 0000000888 dengan memilih Paket Takjil atau Paket Wakaf Al Qur’an Terjemahan dan atau memilih keduanya. (Sularto/Klikbmi)